8 Oktober 2025 – Kecemasan atau anxiety kini menjadi salah satu isu mental yang paling sering dibicarakan oleh generasi muda, terutama Gen Z. Istilah ini bahkan telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari di berbagai platform media sosial. Namun di balik meningkatnya kesadaran terhadap kesehatan mental, para ahli mengingatkan bahwa kecemasan ternyata bisa bersifat menular.
Pakar kedokteran komunitas, Dr. Ray Wagiu Basrowi, menjelaskan bahwa penularan ini berkaitan dengan mekanisme alami otak manusia yang disebut mirror neurons. Sel saraf tersebut berfungsi meniru emosi dan perilaku orang lain secara otomatis. Saat seseorang melihat orang lain panik atau mendengar cerita yang penuh kekhawatiran, otak akan ikut mengaktifkan sistem yang sama. Dalam jangka panjang, hal ini membuat seseorang belajar meniru pola cemas yang sama, seperti proses pembelajaran sosial.
Fenomena ini juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu kelompok, suasana hati bisa berubah drastis hanya karena satu orang merasa panik atau cemas. Rasa gelisah itu dengan mudah menyebar dan memengaruhi orang lain di sekitarnya.
Di era digital, proses ini terjadi melalui layar ponsel. Konten media sosial yang berisi curhatan negatif, kekhawatiran berlebih, atau berita penuh kecemasan dapat memengaruhi emosi penontonnya tanpa disadari. Generasi muda yang aktif di platform seperti TikTok, X, dan Instagram menjadi kelompok yang paling rentan mengalami hal ini.
Dr. Ray menegaskan, terlalu sering mengonsumsi konten bertema kecemasan dapat membuat otak terbiasa berada dalam mode siaga. Akibatnya, seseorang menjadi mudah khawatir meski tidak ada penyebab nyata. Ia mengingatkan pentingnya berhati-hati terhadap informasi yang dikonsumsi setiap hari, karena bukan hanya makanan yang memengaruhi kesehatan, tetapi juga asupan informasi.
Penularan emosi sebenarnya merupakan hal alami. Kita tertawa saat melihat orang lain tertawa, dan ikut sedih ketika melihat orang menangis. Namun, dalam konteks kecemasan, penularan ini bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental bila tidak disadari dan dikelola dengan baik.
Dr. Ray menutup dengan pesan bahwa menjaga kesehatan mental bukan hanya tentang mengendalikan emosi pribadi, melainkan juga mengatur lingkungan emosional serta informasi yang kita serap. Konsep ini dikenal sebagai life hygiene, yaitu menjaga kebersihan hidup mental dan sosial agar tetap seimbang di tengah derasnya arus informasi digital. (Redaksi)

