17 Oktober 2025 – Perjalanan Patrick Kluivert bersama Timnas Indonesia resmi berakhir. Keputusan PSSI untuk mengakhiri kerja sama dengan pelatih asal Belanda itu menjadi sorotan besar, namun banyak pihak menilai langkah tersebut adalah konsekuensi logis dari hukum alam sepak bola: hasil menentukan nasib.
Kluivert datang dengan harapan besar. Reputasinya sebagai mantan bintang Barcelona dan Ajax Amsterdam membuat publik Indonesia optimistis akan perubahan besar di tubuh Garuda. Namun kenyataannya jauh dari ekspektasi. Dalam delapan pertandingan yang dijalaninya, Indonesia hanya mencatat tiga kemenangan, satu hasil imbang, dan empat kekalahan.
Dua kekalahan terakhir, masing-masing dari Arab Saudi dengan skor 2-3 dan Irak 0-1, menjadi titik balik yang menentukan. Kekalahan itu membuat peluang Indonesia untuk melaju ke Piala Dunia 2026 resmi tertutup, sekaligus mengakhiri mimpi panjang masyarakat untuk melihat bendera Merah Putih berkibar di ajang sepak bola terbesar dunia.
Keputusan untuk memecat Kluivert pun dipandang wajar oleh banyak pengamat, termasuk analis sepak bola nasional, Mohamad Kusnaeni. Ia menilai, keputusan ini bukan bentuk emosional PSSI, melainkan langkah realistis demi masa depan tim nasional.
“Pemberhentian Kluivert dan jajaran pelatihnya adalah konsekuensi logis dari hukum sepak bola. Pelatih yang gagal memenuhi target memang sepatutnya digantikan oleh sosok yang lebih tepat. Kluivert datang di waktu yang kurang ideal, ketika timnas sedang berada di fase krusial menuju Piala Dunia. Sayangnya, ia tidak punya pengalaman cukup untuk menghadapi tekanan sebesar itu,” ujar Kusnaeni.
Menurutnya, ekspektasi publik yang begitu tinggi justru menjadi beban tersendiri bagi Kluivert. Apalagi, ia datang menggantikan pelatih sebelumnya yang memiliki hubungan emosional kuat dengan suporter dan sempat membawa hasil positif. “Kluivert gagal memenuhi ekspektasi itu. Dari enam laga resmi, ia hanya mampu mempersembahkan dua kemenangan. Secara permainan pun, tidak ada peningkatan signifikan. Timnas masih bermasalah di area yang sama: kreativitas kurang, lini depan tumpul, dan sering melakukan kesalahan mendasar,” tambahnya.
Bukan hanya hasil yang mengecewakan, tetapi juga strategi dan eksperimen Kluivert di lapangan yang dinilai tidak efektif. Perubahan taktik dari 3-4-3 menjadi 4-2-3-1 dan penurunan pemain dengan susunan mengejutkan tidak memberikan hasil yang diharapkan. Justru sebaliknya, performa tim kerap inkonsisten dan kehilangan arah permainan.
“Sepertinya Kluivert kurang memahami karakter sepak bola Indonesia. Ia jarang berinteraksi langsung dengan lingkungan sepak bola di sini. Kurangnya pemahaman terhadap kultur dan karakter pemain membuat banyak keputusannya kurang tepat,” kata Kusnaeni.
Bagi banyak pihak, kepergian Kluivert bukan hanya akhir dari sebuah perjalanan singkat, tetapi juga pelajaran berharga bagi PSSI. Federasi perlu lebih berhati-hati dalam menentukan sosok pelatih, bukan hanya berdasarkan nama besar, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap kultur, karakter, dan kebutuhan sepak bola Indonesia.
“Ini menjadi pelajaran penting agar PSSI lebih bijak dan terbuka terhadap masukan publik. Sepak bola bukan hanya soal strategi di lapangan, tapi juga soal memahami psikologi pemain dan semangat bangsa yang diwakilinya,” pungkas Kusnaeni.
Kini, fokus publik beralih pada siapa sosok yang akan melanjutkan tongkat estafet di kursi pelatih Timnas Indonesia. Harapan besar masih ada, dan meski perjalanan menuju Piala Dunia 2026 telah berakhir, impian untuk membawa sepak bola Indonesia ke panggung dunia belum benar-benar padam. (Redaksi)

